FILSAFAT
PENDIDIKAN PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA
A.
Pengantar
Manusia
adalah mahluk yang mampu mengembangkan diri. Kemampuan ini menyebabkan manusia
berpeluang untuk membentuk dirinya baik secara fisik maupun mental.
Peningkatan
dan pengembangan diri ini menyebabkan manusia memiliki tingkat peradaban yang
berbeda dan mengarah dari zaman ke zaman. Kemajuan peradaban manusia ini
terlihat dari adanya periodisasi sejarah umat manusia seperti zaman prasejarah
dan zaman sejarah: zaman kuno, zaman pertengahan, zaman modern hingga zaman
pascamodern.
Manusia
memiliki berbagai potensi atau sumber daya untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Sumber daya ini pada dasarnya baru berupa kemungkinan, layaknya
lembaga atau benih pada tumbuh-tumbuhan. Hasilnya baru akan terlihat apabila
potensi tersebut dapat disalurkan melalui pengarahan, bimbingan maupun latihan
yang terarah, teratur dan sinambung.
B.
Filsafat
Pendidikan dan Kepribadian
Peningkatan
kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman ke zaman. Sifat, bentuk
dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat
masing-masing.
Di
masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas
pada aspek-aspek tertentu, yang erat
kaitannya dengan tradisi setempat. Peningkatan itu tak lepas hubungannya dengan
filsafat hidup dan kepribadian masing-masing. Dalam pengertian sederhana
kepribadian jati diri dan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa.
Kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun oleh usaha yang
terprogram. Namun demikian, sederhana apapun, pembentukan itu tak lepas dari
peran pendidikan. Pendidikan, menurut Hasan Langgulung, pada prinsipnya dapat
dilihat dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat.
Dilihat
dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing dan
menghubungkan potensi individu. Sementara sementara dari sudut pandang
kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari
generasi tua kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut tetap
terpelihara. Dalam konteks ini, dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan
tradisi budaya dan kepribadian suatu masyarakat, betapapun sederhananya
masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika tradisi sebagai muatan budaya
senantiasa terlestarikan dalam masyarakat, dari generasi ke generasi
berikutnya. Pelestraian nilai-nilai budaya tersebut, bagaimanapun, hanya akan
mungkin terlaksana apabila ada pendukungnya secara sinambung dari generasi ke
generasi. Hubungan ini tentunya hanya akan mungkin terjadi bila para pendukung
nilai tersebut dapat menularkannya kepada generasi penerusnya.
Transfer
nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam
masyarakat modern, proses pendidikan tersebut didasarkan pada suatu sistem yang
sengaja dirancang sebagai suatu program pendidikan secara formal, oleh sebab
itu, dalam penyelenggaraannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.
Menurut
Hasan Langgulung (1986), pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu
pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini
berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu
masing-masing. Dengan kata lain, sistem pendidikan sebagaimanapun sederhananya
mengandung karakteristik tentang jati diri atau pandangan hidup masyarakat atau
bangsa yang membuatnya.
Pandangan
hidup yang merupakan jati diri ini berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai
suatu secara ideal adalah benar. Dan nilai kebenaran itu sendiri berbeda antara
masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran yang
idealis ini disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam
penyusunan sistem pendidikan. Selain itu, nilai-nilai tersebut juga sekaligus
dijadikan tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan sistem pendidikan
dimaksud.
Dengan
demikian, antara rantai hubungan itu terlihat pada perincian sebagai berikut:
1. Setiap
masyarakat atau bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang sebagai suatu
yang benar.
2. Nilai-nilai
tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup
mereka.
3. Agar
nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari, perlu diwariskan kepada
generasi muda.
4. Usaha
pelestarian melalui pewarisan ini efektifnya melalui pendidikan.
5. Untuk
menyeleraskan pendidikan yang diselenggarakan dengan muatan yang terkandung
dalam nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup tersebut, maka secara sistematis
program pendidikan harus menempatkan nilai-nilai tadi sebagai landasan dasar,
muatan dan tujuan yang akan dicapai.
Pandangan
ini dapat diangkat dari sejumlah sistem pendidikan diberbagai negara yang menggambarkan
hubungan filsafat bangsa dengan tujuan pendidikan yang akan dicapainya. Sejak
zaman Yunani kuno, hubungan seperti itu telah diterapkan. Setidak-tidaknya ada
dua negara yang menampilkan sisi pandang yang berbeda, yaitu Sparta dan Athena.
(Moh. Said, 1964: 46)
Sparta,
sebagai negara militer, memiliki sisi pandang yang didasarkan pada nilai-nilai
fisik. Menurut mereka, manusia yang paling ideal adalah manusia yang berfisik
kuat, bertubuh kekar dan pemberani. Oleh karena itu, menurut mereka, pendidikan
yang benar adalah apabila dapat membentuk manusia yang sehat dan kuat secara
fisik. Dasar pemikiran ini mereka
jadikan sebagai landasan dalam menyusun sistem pendidikan dalam
penerapannya, negara diberi wewenang untuk menjadi pemilik peserta didik secara
mutlak. Setiap bay yang lahir adalah milik negara dan sepenuhnya di bawah
tanggung jawab penguasaan negara. Karena itu, setiap kelahiran diawasi melalui
seleksi yang ketat. Bayi laki-laki yang sehat diasuh oleh negara, sedangkan
bayi laki-laki yang sakit atau cacat dibunuh. (Moh. Said, 1964: 47-48)
Selanjutnya
dikemukakan, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh negara dengan
menggunakan sistem pendidikan militer. Sejak bayi mereka sudah diasuh di
asrama, diberi makanan yang begizi dan setelah menginjak usia kanak-kanak,
pendidikan mulai diterapkan secara intensif. Materi pendidikan dirancang dengan
titik berat pada pendidikan jasmani dan kemiliteran. Disiplin utama pendidikan
adalah membentuk manusia yang sehat fisik dan berotot kekar. Inilah gambaran
pendidikan orang-orang Sparta.
Sebaliknya,
di negara tetangganya, Athena, pandangan tentang pendidikan agak berbeda.
Menurut mereka, manusia memiliki potensi fisik, emosi dan akal. Tujuan
pendidikan adalah mengembangkan ketiga potensi tersebut secara berimbang.
Sebab, menurut pandangan mereka, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang
dapat membentuk manusia yang harmonis.
Atas
dasar pemikiran filsafat dan pandangan hidup ini, maka pendidikan yang
diselenggarakan bangsa Athena jadi berbeda dengan sistem pendidikan Sparta.
Kurikulum pendidikannya yang terangkum dalam trivium memuat mata pelajaran ilmu hitung, gymnasium dan musik.
Ketiga mata pelajaran pokok ini diarahkan pada pengembangan potensi akal,
perasaan dan jasmani. Kemudian diberikan pula mata pelajaran logika dan
retorika. Kurikulum ini selanjutnya terus dikembangkan menjadi qaudrivium yang terdiri dari musik,
matematika, ilmu ukur dan ilmu bintang, seperti yang kemudian diterapkan
disekolah-sekolah di zaman romawi (Moh. Said 1964: 45)
Di
zaman modern, proses serupa terus berlanjut. Negara yang menempatkan komunisme
sebagai pandangan hidup bangsanya, seperti Uni Soviet (sebelum Gorbachev),
maupun Republik Rakyat China (di zaman Mao Tse Tung), tampaknya cenderung
meneruskan pola pendidikan Sparta, walaupun tidak sama persis. Filsafat
materialisme menjadi dasar sistem pendidikan mereka. Tujuan pendidikan
diarahkan pada manusia pekerja yang mengabdi pada kepentingan negara. Setiap
warga negara seakan menjadi bagian dari mesin yang diarahkan dapat memproduksi
materi bagi kepentingan negara. Oleh karena itu, kelompok warga negara yang
dinilai potensial adalah kaum buruh dan kaum tani, karena kedua bidang ini
secara nyata mampu memproduksi materi, berupa hasil teknologi dan bahan pangan.
Maka untuk mencapai hasil yang maksimal, negara memiliki kewenangan penuh untuk
menguasai warga yang tergabung dalam satuan-satuan komune. Warga negara mengabdi kepada negara dalam bentuk pengabdian
bertingkat secara hierarki. Anggota mengabdi kepada ketua komune, dan ketua
komune mengabdi kepada ketua presidium tertinggi yang memiliki kekuasaan tak
terbatas. Rakyat hanyalah pekerja yang harus mengabdi kepada negara.
Bila
pendidikan dikembalikan pada fungsinya sebagai usaha untuk mengembangkan
potensi individu dan sekaligus sebagai usaha mewariskan nilai-nilai budaya,
maka pendidikan juga menyangkut pembentukan kepribadian. Pendidikan berkaitan
dengan usaha untuk mengubah sikap dan tingkah laku. Sedangkan kepribadian
berhubungan dengan pola tingkah laku.
Setidak-tidaknya,
kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya. Pertama, aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola
tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki seseorang. Kedua, aspek individualitas, yakni karakteristik atau sifat-sifat
khas yang dimiliki seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya. Ketiga, aspek mentalitas, sebagai
perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir. Mentalitas sebagai gambaran pola
pikir seseorang. Keempat, aspek
identitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya
dari pengaruh luar. Identitas merupakan karakteristik yang menggambarkan jati
diri seseorang.
Berdasarkan
keempat aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara pendidikan dan
pembentukan kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat pendidikan yang
bersumber dari nilai-nilai budaya sebagai pandangan hidup suatu bangsa.
C.
Filsafat
Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Filsafat
pendidikan, seperti dikemukakan Imam Barnadib, disusun atas dua pendekatan.
Pendekatan pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang
didasarkan pada pandangan filosofis tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan
kedua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problema-problema
yang ada yang memerlukan tinjauan filosfis (Sutari Imam Barnadib, 1987:7).
Dari
pendekatan pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia, terdapat tiga
aliran filsafat. Pertama, aliran
naturalisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang dapat berkembang secara
alami, tanpa memerlukan bimbingan dari luar (lingkungan). Secara alami manusia
akan bertambah dan berkembang sesuai dengan kodratnya masing-masing. Tokoh
aliran ini adalah Jean Jacques Rousseau.
Kedua,
aliran empirisme. Menurut aliran ini, manusia bertumbuh dan berkembang atas
bantuan atau karena intervensi lingkungan. Tanpa adanya pengaruh luar, manusia
tidak akan mampu berkembang. Manusia dianggap makhluk pasif dan tanpa potensi
bawaan. Manusia sepenuhnya ditentukan oleh bagaimana lingkungan
mempengaruhinya. Jika lingkungan baik, manusia akan menjadi baik. Sebaliknya
jika lingkungan buruk, manusia akan menjadi buruk pula. Tokoh aliran ini adalah
Schopenhauer.
Ketiga,
aliran konvergensi, yang memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan
empirisme. Menurut aliran ini, mausia secara kodrati memang telah dianugrahi
potensi yang disebut bakat. Namun selanjutnya agar potensi itu dapat bertumbuh
dan berkembang dengan baik, perlu adanya pengaruh dari luar berupa tuntunan dan
bimbingan melalui pendidikan. Bakat hanyalah kemampuan atau potensi dasar,
layaknya bakal pada tumbuh-tumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya
sangat tergantung dari pemeliharaan atau pengaruh lingkungan. Tokoh aliran ini
adalah William Stren.
Ketiga
aliran tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran tentang manusia dalam kaitan
dengan problema pendidikan. Namun kemudian, Kohnstamm menambah faktor kesadaran
sebagai faktor keempat. Dengan demikian, menurutnya, selain faktor dasar (natur) dan faktor ajar (empiri), yang kemudian dikonvergensikan,
masih perlu adanya faktor kesadaran individu.
Menurutnya,
walaupun manusia memiliki bakat yang baik, kemudian dididik secara baik pula
maka hasilnya akan menjadi lebih baik ada motivasi intrinsik (dorongan
kesadaran dari dalam diri) dari peserta didik itu sendiri. Kohnstamm, melihat
bahwa faktor lingkungan (melieu)
belum dapat memberi hasil yang optimal bila tidak disertai dorongan dari dalam
diri peserta didik. Pendapat ini dapat diniai sebagai temuan yang memperkaya
pemikiran tentang manusia dalam kaitannya dengan pendidikan.
Seperti
dikatakan Imam Barnadib, bahwa filsafat pendidikan sebagai sistem dapat dilihat
dari dua pendekatan. Pendekatan pertama berdasarkan pandangan filosofis,
sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Dalam pandangan ini terungkap bahwa
konsep pendidikan dalam berbagai aliran itu mengakui bahwa manusia memiliki
potensi untuk dididik.
Selanjutnya,
pendekatan kedua adalah filsafat pendidikan dilihat dari sudut pandang sistem
pendidikan. Berdasarkan pendekatan ini, filsafat pendidikan merupakan usaha
untuk menemukan jawaban tentang pendidikan dan problema-problema yang ada yang
memerlukan tinjauan filosofis (Imam Barnadib, 1986: 7). Filsafat pendidikan
adalah pemikiran filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan (Al-Syaibani,
1987: 37). Dalam pandangan ini, filsafat pendidikan menjadi tumpuan bagi
penyusunan sistem pendidikan.
Menurut
Hasan Langgulung, pendidikan dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat,
dapat dilihat dari bagaimana garis hubungnya dengan filsafat pendidikan dan
sumber daya manusia. Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha
untuk mengembangkan potensi individu, sebaliknya dari sudut pandang
kemasyarakatan,pendidikan adalah sebagai pewarisan nilai-nilai budaya. Dalam
pandangan ini, pendidikan mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi
individu dan pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai makhluk berbudaya
pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu kemudian meningkat
sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.
Tingkat
perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh
tingkat kualitas sumber daya manusia yang menjadi pendukung nilai-nilai budaya
tersebut. Pada masyarakat yang memiliki kebudayaan asli (primitif), berbeda
dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan campuran (modern). Dilingkungan
masyarakat pertama, tingkat kualitas sumber daya manusianya boleh dikatakan
sangat rendah. Potensi sumber daya manusia hanya dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat terbatas. Karena itu, variasi kerja
tidak begitu banyak. Sebaliknya, pada masyarakat yang sudah maju, tuntunan
kebutuhan dan variasi kerja demikian banyak, bahkan selalu bertambah. Untuk mengatasi
kebutuhan tersebut, diperlukan tenaga profesional yang berkualitas. Untuk
memenuhi tuntutan itu, setiap individu dituntut untuk meningkatkan kualitas
sumber dayanya masing-masing.
Kemajuan
peradaban manusia sebagian besar ditentukan oleh daya ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (Iptek). Makin tinggi tingkat penguasaan Iptek, makin maju pula
peradaban suatu bangsa. Juga tingkat kualitas sumber daya mausianya. Salah satu
sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia adalah pendidikan.
Sejalan
dengan tujuan tersebut, disusunlah suatu sistem pendidikan yang layak dan
serasi dengan tujuan pengembangan sumber daya manusia sebagai pendukung
nilai-nilai budaya bagi peningkatan kemajuan peradaban yang dimiliki. Kemudian
agar sistem pendidikan tersebut tetap terjaga, diperlukan adanya suatu landasan
filsafat pendidikan yang dinilai mengakar kepada kepribadian bangsa itu
masing-masing. Dalam kaitan ini, terlihat bagaimana kaitan hubungan antara
filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sesuatu
akan dinilai benar bila ia dapat direalisasikan dan hasilnya bermanfaat bagi
kehidupan. Pemikiran ini dijadikan landasan dalam penyusunan sistem pendidikan
dan kemudian diterapkan dalam bentuk sekolah kerja yang dinamakan sekolah
masyarakat (community school).
Sekolah ini bertujuan untuk mendidik para siswa menjadi tenaga praktisi yang
siap pakai. Bidang keahlian disesuaikan dengan bidang profesi yang ada di
masyarakat. Dengan demikian, diharapkan tamatan dari sekolah-sekolah ini akan
segera mendapat pekerjaan.
Sedangkan
tujuan pendidikan Indonesia adalah membentuk manusia yang berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat jasmani dan rohani.
Tujuan ini mencakup pengembangan potensi individu yang diamanatkan oleh
filsafat pendidikan Pancasila. Secara individu, diharapkan peserta didik dapat
memiliki kepribadian yang mencakup keenam belas karakteristik seperti tergambar
dalam tujuan pendidikan nasional. Karakteristik ini sekaligus merupakan aspek
yang menjadi muatan alam pengembangan kualitas sumber daya manusia yang
berlandaskan filsafat pendidikan yang digali dari filsafat dan pandangan hidup
bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar