Jumat, 11 Januari 2013

filsafat


FILSAFAT PENDIDIKAN PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA

 

A.     Pengantar

Manusia adalah mahluk yang mampu mengembangkan diri. Kemampuan ini menyebabkan manusia berpeluang untuk membentuk dirinya baik secara fisik maupun mental.

Peningkatan dan pengembangan diri ini menyebabkan manusia memiliki tingkat peradaban yang berbeda dan mengarah dari zaman ke zaman. Kemajuan peradaban manusia ini terlihat dari adanya periodisasi sejarah umat manusia seperti zaman prasejarah dan zaman sejarah: zaman kuno, zaman pertengahan, zaman modern hingga zaman pascamodern.

Manusia memiliki berbagai potensi atau sumber daya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Sumber daya ini pada dasarnya baru berupa kemungkinan, layaknya lembaga atau benih pada tumbuh-tumbuhan. Hasilnya baru akan terlihat apabila potensi tersebut dapat disalurkan melalui pengarahan, bimbingan maupun latihan yang terarah, teratur dan sinambung.

 

B.     Filsafat Pendidikan dan Kepribadian

Peningkatan kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman ke zaman. Sifat, bentuk dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat masing-masing.

Di masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas pada  aspek-aspek tertentu, yang erat kaitannya dengan tradisi setempat. Peningkatan itu tak lepas hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing. Dalam pengertian sederhana kepribadian jati diri dan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa. Kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun oleh usaha yang terprogram. Namun demikian, sederhana apapun, pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan. Pendidikan, menurut Hasan Langgulung, pada prinsipnya dapat dilihat dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat.

Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing dan menghubungkan potensi individu. Sementara sementara dari sudut pandang kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara. Dalam konteks ini, dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya dan kepribadian suatu masyarakat, betapapun sederhananya masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika tradisi sebagai muatan budaya senantiasa terlestarikan dalam masyarakat, dari generasi ke generasi berikutnya. Pelestraian nilai-nilai budaya tersebut, bagaimanapun, hanya akan mungkin terlaksana apabila ada pendukungnya secara sinambung dari generasi ke generasi. Hubungan ini tentunya hanya akan mungkin terjadi bila para pendukung nilai tersebut dapat menularkannya kepada generasi penerusnya.

Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam masyarakat modern, proses pendidikan tersebut didasarkan pada suatu sistem yang sengaja dirancang sebagai suatu program pendidikan secara formal, oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.

Menurut Hasan Langgulung (1986), pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu masing-masing. Dengan kata lain, sistem pendidikan sebagaimanapun sederhananya mengandung karakteristik tentang jati diri atau pandangan hidup masyarakat atau bangsa yang membuatnya.

Pandangan hidup yang merupakan jati diri ini berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai suatu secara ideal adalah benar. Dan nilai kebenaran itu sendiri berbeda antara masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran yang idealis ini disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam penyusunan sistem pendidikan. Selain itu, nilai-nilai tersebut juga sekaligus dijadikan tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan sistem pendidikan dimaksud.

Dengan demikian, antara rantai hubungan itu terlihat pada perincian sebagai berikut:

1.      Setiap masyarakat atau bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang sebagai suatu yang benar.

2.      Nilai-nilai tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup mereka.

3.      Agar nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari, perlu diwariskan kepada generasi muda.

4.      Usaha pelestarian melalui pewarisan ini efektifnya melalui pendidikan.

5.      Untuk menyeleraskan pendidikan yang diselenggarakan dengan muatan yang terkandung dalam nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup tersebut, maka secara sistematis program pendidikan harus menempatkan nilai-nilai tadi sebagai landasan dasar, muatan dan tujuan yang akan dicapai.

Pandangan ini dapat diangkat dari sejumlah sistem pendidikan diberbagai negara yang menggambarkan hubungan filsafat bangsa dengan tujuan pendidikan yang akan dicapainya. Sejak zaman Yunani kuno, hubungan seperti itu telah diterapkan. Setidak-tidaknya ada dua negara yang menampilkan sisi pandang yang berbeda, yaitu Sparta dan Athena. (Moh. Said, 1964: 46)

Sparta, sebagai negara militer, memiliki sisi pandang yang didasarkan pada nilai-nilai fisik. Menurut mereka, manusia yang paling ideal adalah manusia yang berfisik kuat, bertubuh kekar dan pemberani. Oleh karena itu, menurut mereka, pendidikan yang benar adalah apabila dapat membentuk manusia yang sehat dan kuat secara fisik. Dasar pemikiran ini mereka  jadikan sebagai landasan dalam menyusun sistem pendidikan dalam penerapannya, negara diberi wewenang untuk menjadi pemilik peserta didik secara mutlak. Setiap bay yang lahir adalah milik negara dan sepenuhnya di bawah tanggung jawab penguasaan negara. Karena itu, setiap kelahiran diawasi melalui seleksi yang ketat. Bayi laki-laki yang sehat diasuh oleh negara, sedangkan bayi laki-laki yang sakit atau cacat dibunuh. (Moh. Said, 1964: 47-48)

Selanjutnya dikemukakan, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh negara dengan menggunakan sistem pendidikan militer. Sejak bayi mereka sudah diasuh di asrama, diberi makanan yang begizi dan setelah menginjak usia kanak-kanak, pendidikan mulai diterapkan secara intensif. Materi pendidikan dirancang dengan titik berat pada pendidikan jasmani dan kemiliteran. Disiplin utama pendidikan adalah membentuk manusia yang sehat fisik dan berotot kekar. Inilah gambaran pendidikan orang-orang Sparta.

Sebaliknya, di negara tetangganya, Athena, pandangan tentang pendidikan agak berbeda. Menurut mereka, manusia memiliki potensi fisik, emosi dan akal. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan ketiga potensi tersebut secara berimbang. Sebab, menurut pandangan mereka, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat membentuk manusia yang harmonis.

Atas dasar pemikiran filsafat dan pandangan hidup ini, maka pendidikan yang diselenggarakan bangsa Athena jadi berbeda dengan sistem pendidikan Sparta. Kurikulum pendidikannya yang terangkum dalam trivium memuat mata pelajaran ilmu hitung, gymnasium dan musik. Ketiga mata pelajaran pokok ini diarahkan pada pengembangan potensi akal, perasaan dan jasmani. Kemudian diberikan pula mata pelajaran logika dan retorika. Kurikulum ini selanjutnya terus dikembangkan menjadi qaudrivium yang terdiri dari musik, matematika, ilmu ukur dan ilmu bintang, seperti yang kemudian diterapkan disekolah-sekolah di zaman romawi (Moh. Said 1964: 45)

Di zaman modern, proses serupa terus berlanjut. Negara yang menempatkan komunisme sebagai pandangan hidup bangsanya, seperti Uni Soviet (sebelum Gorbachev), maupun Republik Rakyat China (di zaman Mao Tse Tung), tampaknya cenderung meneruskan pola pendidikan Sparta, walaupun tidak sama persis. Filsafat materialisme menjadi dasar sistem pendidikan mereka. Tujuan pendidikan diarahkan pada manusia pekerja yang mengabdi pada kepentingan negara. Setiap warga negara seakan menjadi bagian dari mesin yang diarahkan dapat memproduksi materi bagi kepentingan negara. Oleh karena itu, kelompok warga negara yang dinilai potensial adalah kaum buruh dan kaum tani, karena kedua bidang ini secara nyata mampu memproduksi materi, berupa hasil teknologi dan bahan pangan. Maka untuk mencapai hasil yang maksimal, negara memiliki kewenangan penuh untuk menguasai warga yang tergabung dalam satuan-satuan komune. Warga negara mengabdi kepada negara dalam bentuk pengabdian bertingkat secara hierarki. Anggota mengabdi kepada ketua komune, dan ketua komune mengabdi kepada ketua presidium tertinggi yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Rakyat hanyalah pekerja yang harus mengabdi kepada negara.

Bila pendidikan dikembalikan pada fungsinya sebagai usaha untuk mengembangkan potensi individu dan sekaligus sebagai usaha mewariskan nilai-nilai budaya, maka pendidikan juga menyangkut pembentukan kepribadian. Pendidikan berkaitan dengan usaha untuk mengubah sikap dan tingkah laku. Sedangkan kepribadian berhubungan dengan pola tingkah laku.

Setidak-tidaknya, kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya. Pertama, aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki seseorang. Kedua, aspek individualitas, yakni karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya. Ketiga, aspek mentalitas, sebagai perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir. Mentalitas sebagai gambaran pola pikir seseorang. Keempat, aspek identitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya dari pengaruh luar. Identitas merupakan karakteristik yang menggambarkan jati diri seseorang.

Berdasarkan keempat aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara pendidikan dan pembentukan kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai budaya sebagai pandangan hidup suatu bangsa.

 

C.     Filsafat Pendidikan dan Sumber Daya Manusia

Filsafat pendidikan, seperti dikemukakan Imam Barnadib, disusun atas dua pendekatan. Pendekatan pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada pandangan filosofis tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan kedua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problema-problema yang ada yang memerlukan tinjauan filosfis (Sutari Imam Barnadib, 1987:7).

Dari pendekatan pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia, terdapat tiga aliran filsafat. Pertama, aliran naturalisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang dapat berkembang secara alami, tanpa memerlukan bimbingan dari luar (lingkungan). Secara alami manusia akan bertambah dan berkembang sesuai dengan kodratnya masing-masing. Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rousseau.

Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran ini, manusia bertumbuh dan berkembang atas bantuan atau karena intervensi lingkungan. Tanpa adanya pengaruh luar, manusia tidak akan mampu berkembang. Manusia dianggap makhluk pasif dan tanpa potensi bawaan. Manusia sepenuhnya ditentukan oleh bagaimana lingkungan mempengaruhinya. Jika lingkungan baik, manusia akan menjadi baik. Sebaliknya jika lingkungan buruk, manusia akan menjadi buruk pula. Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer.

Ketiga, aliran konvergensi, yang memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Menurut aliran ini, mausia secara kodrati memang telah dianugrahi potensi yang disebut bakat. Namun selanjutnya agar potensi itu dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, perlu adanya pengaruh dari luar berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan. Bakat hanyalah kemampuan atau potensi dasar, layaknya bakal pada tumbuh-tumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya sangat tergantung dari pemeliharaan atau pengaruh lingkungan. Tokoh aliran ini adalah William Stren.

Ketiga aliran tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran tentang manusia dalam kaitan dengan problema pendidikan. Namun kemudian, Kohnstamm menambah faktor kesadaran sebagai faktor keempat. Dengan demikian, menurutnya, selain faktor dasar (natur) dan faktor ajar (empiri), yang kemudian dikonvergensikan, masih perlu adanya faktor kesadaran individu.

Menurutnya, walaupun manusia memiliki bakat yang baik, kemudian dididik secara baik pula maka hasilnya akan menjadi lebih baik ada motivasi intrinsik (dorongan kesadaran dari dalam diri) dari peserta didik itu sendiri. Kohnstamm, melihat bahwa faktor lingkungan (melieu) belum dapat memberi hasil yang optimal bila tidak disertai dorongan dari dalam diri peserta didik. Pendapat ini dapat diniai sebagai temuan yang memperkaya pemikiran tentang manusia dalam kaitannya dengan pendidikan.

Seperti dikatakan Imam Barnadib, bahwa filsafat pendidikan sebagai sistem dapat dilihat dari dua pendekatan. Pendekatan pertama berdasarkan pandangan filosofis, sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Dalam pandangan ini terungkap bahwa konsep pendidikan dalam berbagai aliran itu mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik.

Selanjutnya, pendekatan kedua adalah filsafat pendidikan dilihat dari sudut pandang sistem pendidikan. Berdasarkan pendekatan ini, filsafat pendidikan merupakan usaha untuk menemukan jawaban tentang pendidikan dan problema-problema yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis (Imam Barnadib, 1986: 7). Filsafat pendidikan adalah pemikiran filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan (Al-Syaibani, 1987: 37). Dalam pandangan ini, filsafat pendidikan menjadi tumpuan bagi penyusunan sistem pendidikan.

Menurut Hasan Langgulung, pendidikan dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat, dapat dilihat dari bagaimana garis hubungnya dengan filsafat pendidikan dan sumber daya manusia. Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi individu, sebaliknya dari sudut pandang kemasyarakatan,pendidikan adalah sebagai pewarisan nilai-nilai budaya. Dalam pandangan ini, pendidikan mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi individu dan pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai makhluk berbudaya pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu kemudian meningkat sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.

Tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang menjadi pendukung nilai-nilai budaya tersebut. Pada masyarakat yang memiliki kebudayaan asli (primitif), berbeda dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan campuran (modern). Dilingkungan masyarakat pertama, tingkat kualitas sumber daya manusianya boleh dikatakan sangat rendah. Potensi sumber daya manusia hanya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat terbatas. Karena itu, variasi kerja tidak begitu banyak. Sebaliknya, pada masyarakat yang sudah maju, tuntunan kebutuhan dan variasi kerja demikian banyak, bahkan selalu bertambah. Untuk mengatasi kebutuhan tersebut, diperlukan tenaga profesional yang berkualitas. Untuk memenuhi tuntutan itu, setiap individu dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber dayanya masing-masing.

Kemajuan peradaban manusia sebagian besar ditentukan oleh daya ilmu pengetahuan dan tekhnologi (Iptek). Makin tinggi tingkat penguasaan Iptek, makin maju pula peradaban suatu bangsa. Juga tingkat kualitas sumber daya mausianya. Salah satu sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, disusunlah suatu sistem pendidikan yang layak dan serasi dengan tujuan pengembangan sumber daya manusia sebagai pendukung nilai-nilai budaya bagi peningkatan kemajuan peradaban yang dimiliki. Kemudian agar sistem pendidikan tersebut tetap terjaga, diperlukan adanya suatu landasan filsafat pendidikan yang dinilai mengakar kepada kepribadian bangsa itu masing-masing. Dalam kaitan ini, terlihat bagaimana kaitan hubungan antara filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Sesuatu akan dinilai benar bila ia dapat direalisasikan dan hasilnya bermanfaat bagi kehidupan. Pemikiran ini dijadikan landasan dalam penyusunan sistem pendidikan dan kemudian diterapkan dalam bentuk sekolah kerja yang dinamakan sekolah masyarakat (community school). Sekolah ini bertujuan untuk mendidik para siswa menjadi tenaga praktisi yang siap pakai. Bidang keahlian disesuaikan dengan bidang profesi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, diharapkan tamatan dari sekolah-sekolah ini akan segera mendapat pekerjaan.

Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia adalah membentuk manusia yang berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat jasmani dan rohani. Tujuan ini mencakup pengembangan potensi individu yang diamanatkan oleh filsafat pendidikan Pancasila. Secara individu, diharapkan peserta didik dapat memiliki kepribadian yang mencakup keenam belas karakteristik seperti tergambar dalam tujuan pendidikan nasional. Karakteristik ini sekaligus merupakan aspek yang menjadi muatan alam pengembangan kualitas sumber daya manusia yang berlandaskan filsafat pendidikan yang digali dari filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar